Distribusi Kitab Taurat Terjemahan Bugis di Umpungeng Picu Polemik, Kemenag Tolak Rekomendasi

Uncategorized165 Dilihat

Soppeng,–Spionasenew.com. Pembagian kitab Taurat dalam terjemahan bahasa Bugis di Desa Umpungeng pada Kamis, 25 September 2024, telah memicu perdebatan setelah Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Soppeng menolak rekomendasi untuk penerbitan dan legalisasi buku tersebut. Acara pembagian yang berlangsung di tengah kegiatan “Kema Moderasi” ini disaksikan oleh Kasi Bimas Kemenag setempat.

Menurut keterangan Douglas Laskowske, MA, seorang Ahli Bahasa yang hadir dalam acara tersebut, buku yang dibagikan baru berjumlah lima eksemplar dan diberikan kepada empat orang. Rencananya, seribu eksemplar kitab serupa akan dicetak dan didistribusikan di kemudian hari.

Penolakan rekomendasi dari Kemenag ini menjadi sorotan, terutama setelah sejumlah Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang hadir dalam pertemuan tersebut menyuarakan pendapat bahwa pencetakan dan pengedaran buku keagamaan seharusnya memiliki izin dari Kemenag sebagai lembaga negara yang berwenang menangani masalah keagamaan.

Kepala Kemenag Kabupaten Soppeng, Afdal, S.Ag M.Ag, membenarkan adanya pengajuan rekomendasi untuk buku tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa izin tidak dikeluarkan setelah tim telaah dari ahli analis Kemenag menyimpulkan untuk tidak menerbitkan rekomendasi legalitasnya. “Memang ada pengajuan rekomendasi buku, namun hal itu tidak kami keluarkan izinnya setelah tim telaah dari ahli analis Kemenag menghasilkan kesimpulan untuk tidak diterbitkan rekomendasi legalitasnya,” jelas Afdal.

Berdasarkan hasil telaah tim analisis hukum dan analisis kebijakan, Kemenag Kabupaten Soppeng menyampaikan bahwa mereka tidak memberikan rekomendasi penerbitan kitab suci Taurat serta untuk proses legalisasi dan penerbitannya. Hal ini diperkuat dengan hasil telaah dari Kemenag bernomor B-2082/KK.20.21/I/HK.04.3/07/2025.

Situasi ini menjadi perhatian serius bagi pihak terkait mengingat beredarnya buku Al Taurat terjemahan dalam bahasa Bugis yang disebut tidak memiliki legalitas dari Kemenag. Polemik ini diharapkan dapat menemukan titik terang demi menjaga kerukunan umat beragama dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *