Historical closure dan Blunder Menteri KebudayaanOleh : H. A. Ahmad Saransi

Uncategorized664 Dilihat

Makassar–Spionasenews com. Bila saya melakukan perjalanan dalam negeri atau luar negeri saya suka mengunjungi makam tokoh-tokoh penting, museum dan memorial karena di balik keheningan tempat-tempat itu tersimpan jejak perjalanan sejarah dan perubahan budaya masyarakat setempat. Setiap monumen, setiap batu nisan, setiap prasasti mewakili narasi kolektif yang pernah membentuk wajah suatu komunitas, baik dalam luka maupun harapan.

Secara khusus, saya merasa tergerak mengunjungi tempat-tempat seperti ini karena mereka tidak hanya menjadi pengingat, tetapi juga berfungsi sebagai monumen historical closure atau penutup satu fase sejarah yang sering kali kelam dan menyakitkan. Dalam diamnya, mereka berbicara tentang keberanian untuk mengakui masa lalu, dan kehendak untuk tidak mengulanginya.

Historical closure pascakonflik, khususnya yang bersifat politik, adalah bagian penting dalam perjalanan sebuah negara-bangsa. Ia memberi ruang bagi rekonsiliasi, bagi penyembuhan luka kolektif, dan bagi tumbuhnya kesadaran bersama akan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Tanpa penutup yang bermartabat atas masa lalu, masa depan akan terus dihantui oleh bayang-bayang dendam dan ketidakselesaian.

Maka, setiap kunjungan ke memorial bagi saya adalah ziarah batin untuk mengenang, merenung, dan belajar menjadi bagian dari masyarakat yang tidak lupa, tetapi juga tidak terjebak dalam masa lalu.

Sementara di Indonesia, kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah tentang melengkapi sejarah bangsa. Banyak penggal sejarah yang masih remang-remang karena belum ada historical closure yang jelas dan tegas. Bahkan kita harus akui bahwa banyak penggal sejarah yang diingkari dengan cara melakukan pemaknaan ulang terhadap fakta sejarah.

Misalnya saja blunder pernyataan tentang pemerkosaan massal tahun 1998 yang dilontarkan oleh Menteri Kebudayaan. Pengingkaran ini sangat menyakitkan dan menakutkan bagi keluarga dan komunitas
korban tahun 1998 serta bagi masyarakat lebih luas.

Sejatinya, hanya dengan historical closure yang baik, bangsa kita bisa melangkah maju dari belenggu beban sejarah yang masih menggantung. Yang dibutuhkan hanyalah kebesaran jiwa dan komitmen pada nilai yang luhur “cita-cita kolektif sebagai bangsa”.

Salama tapada salama🙏🙏

penulis, . A. H. Ahmad Saransi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *